Sambutan HUT ke-54 dan Syawalan 1433 H
SMA 17 Yogyakarta
                        Dra. Nuniek Tasnim Haryani, Wakasek Urusan Kurikulum

Bismillahir rahmanir rahim,
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bapak  Ibu yang terhormat, dan anak-anakku yang berbahagia.

            Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan bimbingan-Nya, sehingga hari ini SMA 17 Yogyakarta dapat memperingati Ultahnya yang ke-54, bersamaan dengan Syawalan Keluarga Besar tahun 2012. Usia 54 tahun bagi suatu sekolah, tentu telah menorehkan catatan sejarah yang cukup panjang.
            SMA “17” I Yogyakarta berdiri pada tanggal 25 Agustus tahun 1958, diselenggarakan oleh Yayasan Pendidikan Tujuh Belas. Para pendiri yayasan berasal dari Brigade 17 Tentara Pelajar (TP), yang ikut aktif mengambil peranan pada waktu perang kemerdekaan, menjelang dan setelah kemerdekaan. Maksud diselenggarakannya lembaga pendidikan ini adalah untuk melanjutkan pengabdian para patriot bangsa pada era pengisian kemerdekaan, yang selaras dengan tantangan zaman.
Gelora semangat patriotisme di bawah kepemimpinan Bapak P.J. Soewardjo, B.A, pada tahun 70-an segera tercermin dalam pertumbuhan cepat sekolah, sehingga pada tahun 1984 menampung murid sebanyak 1952 siswa dan menempati dua gedung di Jalan Tentara Pelajar 24 dan Jalan Tentara Rakyat Mataram 55. Pada waktu itu SMA “17” I Yogyakarta tercatat sebagai SMA dengan siswa terbanyak di seluruh Indonesia. Dalam posisinya sebagai the big, sekolah ini juga dikenal sebagai sekolah yang mampu (baca : mau) menampung siswa pindahan dari mana pun dari seluruh Indonesia, hampir tanpa seleksi, selain seleksi data-data administrasi seperti rapor dan ijazah. Mudah diduga bahwa pada akhirnya sekolah ini tumbuh sebagai sekolah anak pejabat atau anak orang kaya, juga anak-anak yang bermasalah. Sekitar 122 guru dan 42 karyawan bekerja keras mengelola kegiatan belajar mengajar, yang sebenarnya telah melampaui kegiatan belajar mengajar biasa. Hampir dapat dikatakan tak ada hari tanpa persoalan kenakalan pelajar, sehingga guru dan karyawan sekolah harus bahu-membahu, bekerja sama secara erat, mengatasi segala persoalan siswa. Sampai sejauh itu, segala sesuatunya masih dapat dikatakan berlangsung baik, dan jadilah SMA “17” I Yogyakarta menjadi SMA terbesar dan paling disegani (baca : paling ditakuti) di kota pelajar Yogyakarta, terutama karena prestasinya di bidang sepakbola.
Namun dalam perkembangannya kemudian sekolah ini surut dengan cepat, bukan karena persoalan edukasi yang berat, melainkan karena munculnya SMA Negeri di setiap kecamatan, yang menerima siswa baru dengan “NEM RENDAH”, juga karena tekanan dari dalam yayasan dan oknum yayasan sendiri. Bermula dengan penjualan gedung milik yayasan yang dipakai oleh sekolah yang terletak di Jalan Tentara Rakyat Mataram 55 senilai Rp 1,8 M. Tidak begitu jelas penggunaan dana hasil penjualan gedung sekolah yang cukup besar itu. Yang pasti, akhirnya SMA “17” I Yogyakarta harus pindah dan bergabung ke gedung sekolah lama yang terletak di Jalan Tentara Pelajar 24 Yogyakarta. Ketika pindah pada tahun 1994, kegiatan belajar mengajar berlangsung secara agak berdesak-desakan, karena rasio ruang dengan jumlah siswa kurang sebanding. Tetapi kondisi seperti ini tidak berlangsung lama. Sepeninggal Bapak Soewarjo pada tahun 1997 sampai memasuki tahun 2000-an, sekolah mulai mendapat tekanan anak mantan ketua yayasan (almarhum) yang mengaku sebagai ahli waris.  Akibatnya jumlah siswa semakin surut. Bahkan pada tahun ajaran 2008/2009 SMA “17” I Yogyakarta praktis tidak mendapatkan siswa. Pada waktu itu jumlah siswa baru kelas I (X) hanya 4 orang.
Dengan mewarisi siswa kelas I (X) hanya 4 orang ini maka dimulailah  manajemen baru, di bawah kepemimpinan Kepala Sekolah baru Bapak Suyadi, S.Pd. Manajemen baru ini mengalami kesulitan yang luar biasa, ketika sekolah dipagar seng dan diklaim sebagai milik  ahli waris salah seorang mantan ketua yayasan (almarhum). Siswa, guru dan karyawan harus menerobos pagar seng untuk bisa masuk ke ruang kelas yang ditunggui belasan preman. Setiap hari belasan preman terus menerus melancarkan teror, sampai pada akhirnya pihak sekolah melawan semua tekanan ini, dengan membuka pagar seng dan menghadapi setiap teror dengan elegan : bersikap formal sesuai dengan hukum yang berlaku.
Langkah Penyelamatan
            Sambil terus berjaga-jaga menghadapi dan menjinakkan preman, Kepala Sekolah, guru, dan karyawan, juga perwakilan siswa/aumni (semua disebut sebagai Manajemen Sekolah) mencoba mengurai kemelut dan mencari terobosan untuk mempertahankan eksistensi sekolah, dengan sasaran yang hendak dicapai yaitu :
a.      Mempertahankan keberlangsungan kegiatan belajar mengajar secara tanpa kecuali;
b.      Mengupayakan penambahan jumlah siswa kelas III (XII) agar bisa menyelenggarakan UN (ujian nasional) sendiri pada tahun ajaran 2009/2010
c.       Mengupayakan penjaringan siswa baru pada tahun ajaran 2011/2012 sekurangnya sebanyak 2 kelas.
            Langkah pertama dapat dikatakan yang termudah, karena dengan jumlah guru 27 orang dan jumlah siswa 112 anak, maka rasio murid dengan guru relatif masih baik. Di samping kegiatan belajar dan mengajar secara standar, juga dikembangkan interaksi antara manajamen sekolah dengan siswa. Buahnya adalah iklim keterbukaan yang dulu merupakan hal yang mustahil, sekarang tumbuh baik. Pergaulan yang akrab antara manajemen sekolah dengan siswa ini merupakan modal dasar dalam memastikan berbagai kegiatan belajar mengajar mampu memenuhi –bahkan melampaui—standar minimal yang ditetapkan oleh pemerintah.
Yang paling sulit adalah melaksanakan langkah kedua, dengan sasaran sekolah bisa menyelenggarakan UN sendiri. Untuk itu jumlah murid kelas III (XII) yang mengikuti UN minimal 20 anak; padahal jumlah siswa kelas III (XII) (existing) pada tahun ajaran 2009/2010 hanya 9 anak. Upaya yang dipastikan tetap dalam koridor peraturan yang berlaku ini merupakan sipat kandel sekolah, sehingga belum dapat diuraikan dengan kertas untuk publik ini. Yang pasti, dengan jumlah siswa kelas III (XII) maka SMA “17” I Yogyakarta berhasil menyelenggarakan UN tahun 2010/2011 sendiri
Langkah untuk mencapai sasaran ketiga ditempuh sekolah melalui tiga cara, yaitu :
a.      Menyelenggarakan sebanyak mungkin kegiatan esktra-kurikuler yang menarik, sehingga dapat menarik perhatian media massa cetak, televisi dan radio untuk mewartakannya;
b.      Mengupayakan bantuan dari pemerintah berupa KMS, Bosda, Rapus, dan sejenisnya untuk siswa yang kurang mampu, sehingga prinsip yang mendekati “sekolah gratis” dapat dilaksanakan; dan
c.       Jemput bola langsung atau melalui surat kepada calon siswa baru dan orang tua siswa.
Setelah secara konsisten, tertimbang dan terukur dilaksanakan ketiga cara ini, akhirnya pada tahun ajaran baru 2011/2012 dapat terjaring 42 siswa kelas X. Manfaat lain yang diperoleh dari pelaksanaan “mass media oriented” pada saat ini berupa tumbuhnya hubungan baik dengan pihak wartawan, sehingga hampir dapat dikatakan tidak ada minggu tanpa SMA”17” I Yogyakarta masuk koran, radio dan televisi. Keterbukaan media massa ini akan terus dipertahankan melalui berbagai cara yang baik dan benar, yang dirumuskan dalam suatu kebijakan Kepala Sekolah, di antaranya :
a.      Mendorong terus kegiatan ekstra-kurikuler yang memiliki news valued;
b.      Mendorong guru dan murid untuk menulis dan memuatkannya dalam media massa, dengan mencantumkan identitas sekolah;
c.       Menjaga nama baik dan atau mengarahkan manajemen sekolah dan seluruh siswa agar tidak melakukan hal-hal yang bisa mencemarkan naman sekolah; dan
d.      Membangun hubungan professional dengan wartawan dan pekerja media massa.
Dengan kebijaksanaan Kepala Sekolah dan dukungan seluruh manajemen dan siswa, maka diproyeksikan dalam waktu-waktu mendatang SMA “17” I Yogyakarta akan terus masuk dalam pemberitaan dan atau features media massa. Suatu Gugus Kerja Media Massa telah berjalan secara efektif, tanpa pembentukan secara formal (tetapi efektif bekerja), sehingga pantas diharapkan akan terjadi peningkatan adagium, dari “Tiada Minggu Tanpa Masuk Media” menjadi “Tiada 3 Hari Tanpa Masuk Media”.
Perumusan Kebutuhan
            Penting disadari bahwa SMA “17” I Yogyakarta pada saat ini tidak sedang  menghadapi persoalan eksistensial, meski ditekan preman dan menghadapi klaim dari anak mantan pengurus yayasan. Kedudukan hukum sekolah sebagai karya dan milik para pejuang TP cukup nyata, dan status hak atas tanah secara historis sungguh kuat. Persoalannnya tinggal mengurus secara tuntas status hak atas tanah : Hak Milik.  Selanjutnya persoalan ini telah ditangani secara khusus oleh Yayasan Pengembangan Pendidikan Tujuhbelas (yang kemudian mengubah nama SMA “17” 1 menjadi SMA 17), Kepala Sekolah bersama timnya.
Manajemen Sekolah (Kepala Sekolah, Guru dan Karyawan, serta Perwakilan Siswa/alumni) sejak tanggal 5 Maret 2012 mengalami tekanan premanisme yang luar biasa dahsyat. Akibatnya sekolah terseret  dalam arus pusaran konflik sengketa lahan.  Seminggu menjelang ujian nasional tembok belakang dan papan nama sekolah dirobohkan. Semua harta benda dan peralatan sekolah “dibuang” ke Purwanggan. Akibatnya selama beberapa hari siswa harus belajar di trotoar, atau di aula dengan beralaskan tikar (lesehan). Hal ini tentu mengundang kepedulian berbagai media untuk menyuarakan keprihatinannya. Sampai-sampai Ngarso dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X menawarkan Sasono Hinggil sebagai tempat KBM.
Namun semua guru dan karyawan mati-matian tetap berupaya untuk dapat menyelenggarakan pendidikan dan Ujian Nasional tahun 2011/2012 di Jalan Tentara Pelajar 24. Berkat dukungan berbagai pihak, terutama dari komisi A dan C DPRD Kota Yogyakarta, Kadisdikpora DIY serta Kadindik kota Yogyakarta, Ujian Nasional dapat berlangsung dengan baik. Inilah suasana Ujian Nasional paling heroik sepanjang sejarah perjalanan SMA 17 Yogyakarta.  Sekolah dijaga 24 jam oleh tim kepolisian dari Polresta Yogyakarta, dikunjungi Bapak Dirjen Dikdas Prof. Dr. Suyanto beserta tim, para tokoh yang peduli pendidikan, dan diliput oleh hampir semua media cetak, media elektronik, media online pusat maupun daerah. Semua wartawan tersebut tumplek bleg meliput pelaksanaa  ujian nasional tanggal 16-19 April 2012. Alhamdulillah ujian berjalan lancar, IPA lulus 100% dan IPS 95%.
Memasuki tahun ajaran baru 2012/2013, persoalan sengketa sekolah belum juga membaik. Berdasarkan instruksi Kadindik kota Yogyakarta, selama beberapa bulan siswa kelas X, XI harus ngungsi ke SMP N 12, agar kegiatan belajar mengajar  dapat berjalan kondusif. Tahun ajaran baru ini kondisi sekolah masih memprihatinkan, pagar keliling masih tertutup seng rapat, ruang perpustakaan dan ruang kelas XI IPS masih dalam kondisi “dihancurkan”. Meski demikian tidak mengurangi semangat para guru dan karyawan (sebagai ahli waris SMA 17 yang sah) untuk tetap mengabdikan diri pada kelangsungan pendidikan di Jalan Tentara Pelajar 24. Melalui forum ini, kami berharap dapat dirumuskan langkah-langkah konkret dari keluarga besar SMA 17 beserta hadirin untuk dapat membantu manajemen sekolah dalam rangka menyelamatkan almamater.
Sambil tetap terus bekerja keras, pada hari ini saya harus mengucap syukur karena masih dapat mengabdi di SMA 17 selama 34 tahun sejak tahun 1979. Selama itu pula, kami dapat membangun keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Dua putri kami tumbuh menjadi anak-anak yang baik, cerdas, dan mandiri. Kini keduanya sudah menikah dan bekerja dengan posisi yang cukup membanggakan kedua orang tuanya. Kami pun berharap semoga anak-anak didik kami kelak dapat menjadi orang-orang yang berhasil dalam hidupnya. Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang guru selain melihat mantan anak didiknya sukses dan menjadi orang-orang yang berguna bagi keluarga, bangsa, dan negara. Kami pun terus berharap SMA 17 Yogyakarta akan tetap berdiri kokoh sebagai cagar budaya di Jalan Tentara Pelajar 24, sampai kami pensiun, sampai kami meninggal, sampai akhir zaman, supaya terus menjadi amal jariyah kami dan para pendahulu kami.
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita ke jalan yang lurus, jalan yang diridhoi-Nya,  rabbana hab lana min azwajina wadzurriya tina kurrata akyun. Waj alna lil muttaqina imama. Robbana atina fid dunya hasanah wafil akhirati khasanah waqina adza bannar, Amin ya robbal alamin. Selamat Idul Fitri 1433H. Taqobbal allahu minna waminkum, mohon maaf lahir dan batin.

Yogyakarta, 3 September 2012



Dra. Nuniek Tasnim Haryani
NIP 19560512 1980032006

Dapatkan Artikel Explore Geografi Terbaru dan Gratis

0 Response to " "

Post a Comment